Tepat tengah malam pukul 12.30 di Hari Jum’at 14 Februari saya terbangun
oleh suara anak-anak yang berisik.Mati lampu.Saya pikir hanya mati lampu karena
lampu-lampu mati,kipas mati lalu ada dua orang asing yang masuk membawa lilin.
Awalnya tidak panik,namun kemudian mendengar suara hujan,orang-orang
panic dan berteriak.Saya pun penasaran dan akhirnya keluar melihat dan masya
Alloh,hujan pasir.
Ini pengalaman pertama melihat hujan pasir yang ternyata material dari
ledakan Gunung Kelud.Saya pun panik dan langsung memantau santri termasuk
menghimbau memakai masker atau penutup hidung.
Foto hujan pasir hasil jepretan kamera saya.Mirip hujan
salju.
Segera setelah itu pihak pesantren memutuskan memulangkan seluruh santri
ke Jakarta karena khawatir akan erupsi susulan dan juga masalah kesehatan
santri.
Dihari jum’at setelah sholat Jum’at,angin kencang menyapu Desa
Tulungrejo – Pare dan membawa gulungan debu vulkanik.Sangat berbahaya.
Ketika menuju stasiun pun,terlihat jalan-jalan kota Kediri masih penuh pasir
dan debu vulkanik beterbangan.Pusat-pusat perbelanjaan belum ada yang aktif.
Dalam perjalanan pulang menggunakan kereta,terlihat pemandangan
mengerikan dari tebalnya pasir dan debu yang menutupi sejumlah kota dan
kabupaten terutama Solo dan Jogja.Bahkan debu tebal pun masuk ke dalam kereta
yang menempel di pakain dan tas penumpang.Semua penumpang menggunakan masker.Namun
karena tebalnya debu membuat sebagian kesulitan.
Lagi-lagi gejala alam ini menjadi pertanda akan akhir zaman sebagaimana
disebutkan dalam hadits.Semoga para korban musibah Gunung Kelud dimudahkan dan
senantiasa dilindungi.Demikian pula kita semoga dijauhkan dari musibah semacam
ini.Amin
Ustadz Abu Hafizh Herman Syamsuddin al-hafizh